Kata “Bekasi” berdasarkan penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno), secara filologis
berasal dari kata Candrabagha;
Candra berarti bulan (dalam
bahasa Jawa Kuno berarti “sasi”)
dan bagha berarti bagian.
Sehingga Candrabhaga berarti
bagian dari bulan. Dalam
pelafalannya Candrabhaga sering
disebut Sasibhaga atau Baghasa-
si. Dalam pengucapannya sering-
kali disingkat Bhagasi, dan karena
adanya pengaruh bahasa Belanda
maka sering ditulis Bacassie,
kemudian kata Bacassie berubah
menjadi Bekasi hingga kini.
Masa Kerajaan
Candrabhaga (asal muasal kata
“Bekasi”) merupakan wilayah
bagian dari Kerajaan Taruma-
negara yang berdiri pada abad
ke-5 Masehi. Diduga, berdasarkan
Prasasti Tugu (yang berada di
Cilincing, Jakarta) digambarkan
bahwa Raja Kerajaan Taruma-
negara (Maharaja Purnawar-man)
memerintahkan untuk menggali
Kali Candrabhaga, dengan tujuan
untuk mengairi sawah dan
menghindari bencana banjir yang
kerap melanda wilayah Kerajaan
Tarumanegara.
Setelah runtuhnya Kerajaan Taru-
manegara pada abad ke-7
Masehi, kerjaan yang memiliki
pengaruh cukup besar terhadap
wilayah Bekasi adalah Kerajaan
Padjadjaran. Hal ini terlihat dari
situs sejarah Batu Tulis (di Bogor)
yang menggambarkan bahwa
Bekasi merupakan bagian dari
wilayah Kerajaan Padjadjaran dan
merupakan salah satu pelabuhan
sungai yang ramai dikunjungi
para pedagang, sehingga Bekasi
menjadi kota yang sangat penting
bagi Padjadjaran.
Seiring waktu berlalu, kerajaan-
kerajaan tumbuh, berkembang,
mengalami masa kejayaan,
runtuh, muncul kerajaan baru.
Kedudukan Bekasi tetap menjadi
posisi strategis dan tercatat dalam
sejarah masing-masing kerajaan.
Terakhir Bekasi tercatat dalam
sejarah Kerajaan Sumedang-
larang, yang menjadi bagian
wilayah Kerajaan Mataram.
Masa pendudukan Belanda
Sejarah Bekasi pada masa
pendudukan Belanda, hampir
sama dengan sejarah Indonesia
secara umum, karena letaknya
berdekatan dengan Jakarta, maka
sejarah Jakarta mulai dari
Jayakarta, Batavia, Sunda Kelapa,
hingga Jakarta yang kita kenal
sekarang melekat erat dengan
Berawal pada tahun 1610, saat
Pangeran Jayakarta Wijayakrama
mulai melakukan perjanjian
dagang dengan VOC (Verenidge
Oost-indische Compagnie / se-
macam Kamar Dagang Belanda).
Kemudian pada tahun 1614,
Gubernur Jendral VOC mendapat
ijin mendirikan benteng di sebelah
utara keraton, dan pada tahun
1618 Gubernur Jendral Jan
Pieterszoon Coen memperluas
benteng hingga menjadi
bangunan yang kokoh dengan
setiap sudut benteng ditempatkan
meriam yang mengarah ke
keraton. Tindakan provokasi dan
mengancam ini, menimbulkan
kemarahan Pangeran Jayakarta
yang kemudian menyerang
benteng ini. Serangan ini rupanya
sudah diantisipasi VOC, maka
terjadilah pertempuran antara
pasukan Pengeran Jayakarta
dengan VOC (April-Mei 1619).
Sejarah Indonesia mencatat inilah
awal bangsa Belanda mulai
menancapkan kuku penjajahannya di bumi Indonesia.
Setelah menguasai Jayakarta
yang kemudian diubah namanya
menjadi Batavia (1619), Belanda
berusaha memperluas daerah
kekuasaannya hingga Kerajaan
Mataram, karena kerajaan
Mataram mempunyai pengaruh
yang sangat besar di Pulau Jawa.
Upaya Belanda ini menimbulkan
kemarahan Raja Mataram, Sultan
Agung Hanyokro-kusumo. Pada
tahun 1628, Sultan mengerahkan
pasukan angkatan lautnya
sebanyak 2 begodo (setingkat
brigade) untuk menyerang
Batavia. Namun karena jarak dan
waktu yang lama, serangan ini
dapat digagalkan Belanda karena
kalah persenjataan dan
kekurangan pasokan logistik
Walaupun mengalami kekalahan,
pasukan Mataram kembali
melakukan penyerangan gelom-
bang kedua. Mereka berangkat ke
Batavia pada pertengahan Mei
1629. Pada tanggal 20 Juni 1629
pasukan infantri Kerajaan
Mataram yang dipimpin oleh Kyai
Adipati Juminah, Kyai Adipati
Purbaya, dan Kyai Adipati Puger
dengan dibantu oleh Tumeng-
gung Singaranu, Raden Aria
Wiranatapada, Tumenggung
Madiun dan Kyai Sumenep,
menyerbu Batavia. Sepanjang
rute perjalanan ke arah Batavia
sudah dipersiapkan logistik
pasukan.
Sejarah mencatat
daerah suplai logistik tersebut
berada di sekitar wilayah Tegal,
Cirebon, Indramayu, Karawang,
dan Bekasi (di daerah Babelan).
Pasukan Mataram mengepung
Batavia dari segala penjuru, tetapi
kemudian ternyata Belanda dapat
mempertahankan Batavia, bahkan
dapat memaksa mundur pasukan
Mataram ke daerah pedalaman.
Kegagalan ini menyebabkan se-
bagian besar pasukan Mataram
memilih tidak kembali ke Mataram
karena titah Raja Mataram (Sultan
Agung), akan memenggal kepala
pasukan yang kembali ke
Mataram apabila gagal dalam
penyerangan ke Batavia tersebut.
Akhirnya pasukan Mataram ini
menetap di wilayah Bekasi dan
membaur dengan penduduk asli,
terutama di sekitar daerah pantai
dan pedalaman, misalnya di
Pekopen (Tambun Selatan),
Cibarusah, Pondok Rangon dan
ada juga yang membuka
perkampungan baru. Karenanya
di Bekasi terdapat daerah-daerah
yang berbahasa Sunda, dialek
Banten, Jawa atau campuran.
Masa Pemerintahan Hindia
Bekasi pada masa ini masuk ke
dalam wilayah Regentschap
Meester Cornelis, yang terbagi
atas empat district, yaitu Meester
Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan
Cikarang. District Bekasi pada
masa penjajahan Belanda dikenal
sebagai wilayah pertanian yang
subur, terdiri atas tanah-tanah
partikelir (tuan tanah) yaitu para
pengusaha Eropa dan para
saudagar Cina.
Distrik Bekasi
terkenal subur dan produktif
dibanding distrik-distrik yang lain,
namun demikian yang menikmati
kesuburan tanah Bekasi adalah
para tuan tanah, bukan rakyat
Bekasi yang masih dalam kondisi
serba sulit dan kekurangan.
Pada tahun 1913 di Bekasi
muncul organisasi Sarekat Islam
(SI) yang banyak diminati
masyarakat sebagian besar
petani, guru ngaji, bekas tuan
tanah, dan pejabat yang dipecat
oleh Pemerintah Hindia Belanda,
serta para jagoan yang dikenal
sebagai rampok budiman
(merampok untuk dibagikan
kepada orang miskin).
Karena
jumlah anggotanya cukup banyak,
SI Bekasi kemudian menjadi
kekuatan yang dominan. Antara
tahun 1913-1922 SI Bekasi
menjadi penggerak berbagai
protes penentangan terhadap
berbagai penindasan terhadap
petani, misalnya pemogokkan
kerja paksa (rodi), protes petani
di Setu (1913) hingga pemogokan
pembayaran “cuke” (1918).
Masa pendudukan Jepang
Kedatangan Jepang di Indonesia
bagi sebagian besar kalangan
rakyat Indonesia memperkuat
anggapan eksatologis Ramalan
Jayabaya, dalam buku “Jangka
Jayabaya”, mengungkapkan :
‘...suatu ketika akan datang
bangsa kulit kuning dari utara
yang akan mengusir bangsa kulit
putih. Namun, ia hanya akan
memerintah sebentar yakni
selama ‘seumur jagung’, sebagai
ratu adil yang kelak akan
melepaskan Indonesia dari
belenggu penjajah...”
Pada awalnya penaklukan
Belanda oleh Jepang disambut
dengan suka cita, karena
dianggap sebagai pembebas dari
penderitaan.
Rakyat Bekasi
menyambut dengan kegembiraan,
dan semakin meluap ketika
Jepang mengijinkan pengibaran
Bendera Merah Putih dan
menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Namun kegembiraan itu
hanya sekejap, selang seminggu
Pemerintah Jepang mengeluarkan
larangan pengibaran Sang Merah
Putih dan Lagu Indonesia Raya
diganti dengan pengibaran
bendera “Matahari Terbit” dan
lagu “Kimigayo”. Melalui pemak-
saan ini, Jepang yang semula
dibanggakan sebagai “saudara
tua” memulai babak baru pen-
jajahan di Indonesia.
Kekejaman semakin kentara,
ketika menginstruksikan seluruh
rakyat Bekasi untuk berkumpul di
depan kantor tangsi polisi, untuk
menyaksikan hukuman pancung
terhadap penduduk Telukbuyung
yang dianggap bersalah. Hukum
pancung ini sebagai shock
teraphy agar menimbulkan efek
jera dan takut bagi rakyat Bekasi
terhadap Pemerintah Jepang.
Selain itu Jepang juga member-
lakukan ekonomi perang, padi
dan ternak yang ada di Bekasi
dihimpun dan wajib diserahkan
kepada penguasa militer Jepang.
Bukan saja untuk keperluan
sehari-hari tapi juga untuk
keperluan jangka panjang dalam
rangka menunjang Perang Asia
Timur Raya.
Akibatnya rakyat Bekasi meng-
alami kekurangan pangan, dan
diperparah dengan adanya
“romusha” (kerja rodi). Peme-
rintah militer Jepang juga melaku-
kan penetrasi kebudayaan ter-
hadap rakyat Bekasi, seperti
belajar semangat “bushido” (spirit
of samurai), pendewaan Tenno
Haika (kaisar Jepang), pemben-
tukan Seinenden, Keibodan,
Heiho dan tentara Pembela Tanah
Air (PETA).
Selain organisasi bentukan
Jepang, pemuda Bekasi ber-
himpun dalam organisasi non
formal yaitu Gerakan Pemuda
Islam Bekasi (GPIB). GPIB ini
didirikan pada tahun 1943 atas
inisiatif para pemuda Islam Bekasi
yang setiap malam Jum’at
mengadakan pengajian di Masjid
Al-Muwahiddin (Bekasi), para
anggotanya terdiri atas pemuda
santri, pemuda pendidikan umum,
dan pemuda “pasar” yang buta
huruf. Pada awalnya GPIB
dipimpin oleh Nurdin, setelah ia
meninggal tahun 1944, digantikan
oleh Marzuki Urmaini. Hingga
awal kemerdekaan, GPIB memiliki
banyak anggota dan bermarkas di
rumah Hasan Sjahroni di daerah
pasar Bekasi. Banyak anggota
GPIB bergabung ke BKR dan
badan perjuangan yang dipimpin
oleh KH. Noer Ali. GPIB banyak
memiliki cabang antara lain :
GPIB Pusat Daerah Bekasi
(Marzuki Urmaini dan Muhayar),
GPIB daerah Ujung Malang (KH.
Noer Alie), GPIB Daerah Tambun
(Angkut Abu Gozali), GPIB Karnji
(M. Husein Kamaly) dan GPIB
Daerah Cakung (Gusir).
Masa Kemerdekaan
Pada awal Agustus 1945, tanda-
tanda kekalahan Jepang dari
sekutu kian santer terdengar,
terutama di kawasan Asia Pasifik.
Setelah bom atom mengujani
Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
menyerah. Gelora kemerdekaan
menggema hingga ke pemuda
dan rakyat Bekasi. Antusiasme
rakyat Bekasi tercermin pada saat
diminta mengawal dan menjaga
keamanan Bung Karno dan Bung
Hatta beserta rombongan yang
bergerak ke Rengas-dengklok.
Jalur lintas perjalanan rombong-
an tersebut melewati wilayah
Kecamatan Kedungwaringin,
Cikarang Timur, dan Karang-
bahagia. Rakyat Bekasi menyebut
jalur ini dengan Jalan Lintas
Proklamator.
Esok harinya, hari Jum’at, 17
Agustus 1945 Pukul 10.00 WIB
Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya di Pegangsaan
Timur 56.
Atas nama bangsa
Indonesia, Soekarno - Hatta
membacakan Teks Proklamasi
yang kemudian disiarkan ke
seluruh pelosok Indonesia.
Rakyat Indonesia, termasuk
rakyat Bekasi menyambut dengan
penuh suka cita kemerdekaan
Sisi lain kabar gembira ini juga
menimbulkan kebencian terhadap
tentara Jepang, rakyat melam-
piaskan kemarahannya yang
sudah lama terpendam akibat
kekejaman tentara Jepang.
Peristiwa pelucutan senjata dan
pembunuhan juga terjadi di
Bekasi, seperti pembunuhan tuan
tanah Telukpucung dan
penahanan 49 truk milik Jepang
(25 Agustus 1945), serta sebuah
epos yang memiliki arti yang
sangat dalam bagi rakyat Bekasi,
keberanian rakyat Bekasi,
sekaligus tragis, yaitu Insiden
Kali Bekasi yang terjadi pada
tanggal 19 Oktober 1945, yaitu
pembantaian 90 orang tawanan
Jepang oleh rakyat Bekasi di tepi
Kali Bekasi. Selain itu terjadi pula
Peristiwa Bekasi Lautan Api, yaitu
pembumihangusan Bekasi oleh
tentara sekutu, Kampung Dua
Ratus terbakar, kemudian meluas
ke Kayuringin, Telukbuyung,
Teluk Angsan dan Pasar Bekasi.
Bekasi Timur dan Bekasi Barat
berubah seperti api unggun
Terbentuknya Kabupaten
Berawal pada tanggal 17 Januari
1950, para pemimpin dan tokoh
rakyat Bekasi, seperti
R. Soepardi, KH. Noer Alie,
Namin, Aminudin, dan Marzuki
Urmaini membentuk “Panitia
Amanat Rakyat Bekasi” dan
mengadakan rapat akbar di Alun-
Alun Bekasi. Rapat raksasa
tersebut dihadiri oleh ribuan
rakyat dari berbagai pelosok
Bekasi, dihasilkan beberapa
tuntutan yang terhim-pun dalam
“Resolusi 17 Januari”, antar lain
menuntut agar nama Kabupaten
Jatinegara diubah menjadi Kabu-
paten Bekasi.
Resolusi itu
ditandatangani oleh Wedana
Bekasi (A. Sirad) dan Asisten
Wedana (R. Harun).
Tuntutan tersebut akhirnya
mendapat tanggapan dari
Mohammad Hatta, dan
menyetujui penggantian nama
“Kabupaten Jatinegara” menjadi
“Kabupaten Bekasi”. Kemudian
terbitlah Undang-Undang Nomor :
14 Tahun 1950 yang ditetapkan
pada tanggal 8 Agustus 1950
tentang Pembentukan Kabupaten-
Kabupaten di Propinsi Jawa Barat,
serta memperhatikan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun
1950 tentang berlakunya Undang-
Undang No.14 Tahun 1950
tersebut, maka Kabupaten Bekasi
secara resmi terbentuk pada
Tanggal 15 Agustus 1950, dan
berhak mengatur rumahtangga-
nya sendiri, sebagaimana diatur
oleh Undang-Undang Pemerintah
Daerah pada sat itu, yaitu UU No.
22 Tahun 1948. Selanjutnya
ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II kabupaten
Bekasi, bahwa Tanggal 15
Agustus 1950 sebagai HARI JADI
KABUPATEN BEKASI, dan sebagai
Bupati Bekasi Pertama adalah R.
Suhandan Umar (sebelumnya
Bupati Jatinegara).
Kedudukan
kantor Pemerintah Daerah
Kabupaten Bekasi tetap di
Jatinegara (sekarang Markas
Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta).
Dalam perjalanannya kemudian,
Kabupaten Bekasi mengalami
perkembangan yang sangat
pesat, menjadi kawasan industri
yang mendunia, kawasan industri
yang tidak hanya berisi pabrik-
pabrik, tapi juga berdiri plaza,
mal, perumahan, lapangan golf,
pusat bisnis bahkan sekolah-
sekolah unggulan.
Di sisi lain, Kabupaten Bekasi kini
telah mengalami pemekaran
wilayah dengan terbentuknya
Kota Bekasi, maka kini pusat
pemerintahan Kabupaten Bekasi
berada di Cikarang Pusat (Desa
Sukamahi).
Dengan terbentuknya
Kota Bekasi, kita harus mampu
menggali nilai-nilai kesejarahan
yang ada di wilayah Kabupaten
Bekasi tanpa harus meninggalkan
kebersamaan sejarah dengan
Kota Bekasi. Hal itu mampu
meningkatkan rasa kebanggaan
dan rasa memiliki yang tinggi
sebagai warga masyarakat
Kabupaten Bekasi.
0 comments:
Post a Comment